Oleh: Departemen Lingkungan Hidup BEM UI 2020 dan Departemen SILL HMD Geografi UI 2020
Beberapa wilayah di Indonesia sedang mengalami hujan dengan intensitas lebat. Hujan lebat tersebut diantaranya berada di wilayah Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan, Papua Barat dan Papua. Hujan lebat ini sudah dialami dari awal bulan Januari dan diperkirakan akan terus berlanjut hingga pertengahan bulan Maret. Intensitas hujan yang tinggi dan dalam jangka waktu lama ini mengakibatkan sejumlah wilayah terdampak banjir dan mengganggu aksesibilitas karena ruas jalanan ikut terendam air.
Di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya, curah hujan tahun ini disebut sebagai yang tertinggi sejak 154 tahun yang lalu. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memaparkan catatan curah hujan terkait banjir besar di Jakarta dari tahun-tahun sebelumnya. Pada tanggal 24 Februari lalu, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengeluarkan informasi mengenai salah satu penyebab datangnya hujan lebat yang menimpa beberapa wilayah Indonesia ini, yaitu karena munculnya dua siklon tropis di antara Indonesia dan Australia. Dua siklon tropis itu dinamakan siklon tropis Esther dan Ferdinand. Sebenarnya apakah yang dimaksud siklon tropis, siklon tropis Esther, dan siklon tropis Ferdinand itu?
Siklon Tropis: Esther dan Ferdinand
Menurut BMKG, siklon tropis atau yang biasa disebut hurikan, angin puyuh, badai tropis, taifun, atau angin ribut (bergantung pada lokasinya) merupakan badai dengan kekuatan yang besar dan terbentuk di atas lautan luas yang biasanya mempunyai suhu permukaan air laut hangat, lebih dari 26.5 °C. Pada umumnya, radius rata-rata siklon tropis mencapai 150 hingga 200 m dan memiliki kecepatan angin di dekat pusatnya lebih dari 63 km/jam. Siklon tropis memiliki masa hidup rata-rata berkisar antara 3 sampai 18 hari. Mengingat energi siklon tropis didapatkan dari suhu permukaan laut yang hangat, maka siklon tropis akan melemah hingga punah ketika bergerak dan telah memasuki wilayah perairan yang dingin atau memasuki daratan. Seperti namanya, siklon tropis tumbuh di perairan di sekitar daerah tropis, terutama yang memiliki suhu muka laut yang hangat. Jumlah siklon tropis yang tumbuh di belahan bumi utara rata-rata 57.3 kejadian dalam satu tahun dan di belahan bumi selatan rata-rata 26.3 siklon tropis dalam setahun (berdasarkan data tahun 1968 – 1989).
Siklon tropis Ferdinand dan Esther merupakan siklon tropis yang dinamakan oleh Bureau of Meteorology Australia (Badan Meteorologi Australia). Siklon tropis Ferdinand dalam hal ini merupakan salah satu bentuk pusaran angin hebat yang mulai terdeteksi keberadaannya pada tanggal 24 Februari 2020 lalu di Samudra Hindia, selatan Nusa Tenggara Barat, sekitar 590 km sebelah selatan Bima (NTB). Menurut analisis Advanced Dvorak Technique (ADT), yaitu salah satu sistem perkiraan siklon tropis dunia, mengungkapkan bahwa pada tanggal 25 Februari 2020, angin yang dihasilkan dari siklon tropis atau badai Ferdinand diperkirakan memiliki kecepatan sebesar 92 knot dan tekanan pusat 965 m bar. Siklon tropis Ferdinand memiliki medan angin yang sangat kuat dan terlihat jelas di sekitar matanya. Radius dampaknya bahkan mencapai 35-40 mil dari sumber mata siklonnya. Tak heran wilayah Indonesia bagian Selatan seperti Pulau Jawa, NTT, dan sekitarnya yang berjarak kurang lebih 3.000 km dari lokasi siklon tropis Ferdinand juga terkena dampak dari siklon ini karena hembusan awan hujan yang bertiup dari sekitar Samudera Hindia ke Indonesia menyebabkan hujan turun dengan intensitas sedang hingga lebat selama beberapa hari belakangan ini. Namun seiring berjalannya waktu, siklon tropis Ferdinand ini semakin bergerak ke arah Barat daya dan berbelok ke Barat laut menjauhi Indonesia.
Curah Hujan Tinggi dan Banjir di DKI Jakarta
Banjir telah melanda berulang kali sejumlah wilayah di DKI Jakarta tahun 2020. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan banjir bulan Februari paling parah terjadi di Jakarta Timur, dengan 25 kelurahan yang terdampak dan 758 individu yang mengungsi. Ada pun wilayah yang paling sedikit terdampak banjir adalah Jakarta Utara dan Jakarta Barat yang hanya melanda 5 kelurahan. Banjir yang terjadi ini tentunya menimbulkan banyak dampak negatif bagi masyarakat. Salah satunya adalah mendatangkan banyak potensi penyakit. Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim dari Kementerian Lingkungan Hidup memaparkan, banjir adalah momen dimana serangga penyebar penyakit marak bereproduksi. Dengan kondisi seperti ini, kasus penyakit seperti malaria dan demam berdarah dengue akan sangat banyak, sampai pada titik endemik. Dalam sejumlah kasus, warga yang sakit tidak mampu bertahan di tengah bencana banjir dan berujung pada timbulnya korban jiwa. Menurut data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), bencana banjir di awal tahun 2020 adalah banjir yang paling banyak menimbulkan korban jiwa. Tercatat pada bulan Januari, terdapat sembilan korban meninggal yang terdiri atas tujuh orang dari Jakarta Timur, kemudian masing-masing satu orang di Jakarta Pusat dan Jakarta Barat. Angka ini melebihi jumlah korban jiwa selama 2017 yang hanya enam orang.
Topografi (bentuk permukaan bumi) Provinsi DKI Jakarta dianalisis dari aspek ketinggian lahan dan kemiringan lerengnya terletak pada dataran rendah dengan ketinggian rata-rata 8 meter di atas permukaan laut. Faktanya, bahkan sekitar 40 persen permukaan tanah Provinsi DKI Jakarta berada 1-1,5 meter di bawah muka laut pasang. Fenomena banjir yang terjadi di Jakarta juga tidak lepas dari kemiringan lerengnya. Hal ini disebabkan karena beberapa lokasi kota Jakarta masih tergolong dalam tingkat kemiringan lereng 0-3 persen atau berada pada kemiringan lereng relatif landai. Kemiringan lereng pada kota Tangerang dan Bekasi memiliki karakteristik yang sama, sehingga dapat dinyatakan bahwa sebagian besar kawasan Jabodetabek berada pada kemiringan lereng relatif landai.
Keadaan Demografi Jakarta dan Dampaknya
Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) memproyeksikan jumlah penduduk DKI Jakarta pada 2020 bertambah 72 ribu orang menjadi 10,57 juta orang. Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bappenas menyebutkan jumlah ini naik 0,7% dari tahun sebelumnya yang sebanyak 10.504.100 jiwa dengan Jakarta Barat Kota Terpadat di DKI Jakarta. Dalam empat dasawarsa terakhir ini, peningkatan jumlah penduduk Jakarta yang berlangsung pesat telah menyebabkan kawasan resapan air berkurang drastis karena beralih fungsi menjadi daerah lahan terbangun dan industri. Pada lahan-lahan yang sebelumnya menjadi daerah resapan air dilakukan betonisasi (pembetonan) dan aspalisasi (pengaspalan) untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sehingga tidak mampu menyerap air. Meningkatnya jumlah perumahan juga menjadi pemicu pengambilan air tanah yang dilakukan secara terus menerus yang kemudian berkontribusi terhadap berkurangnya kemampuan tanah untuk menyerap air di permukaan. Kecenderungan tersebut mengindikasikan bahwasanya ketersediaan lahan menjadi permasalahan yang penting bagi pembangunan Provinsi DKI Jakarta. Semua ini merupakan konsekuensi logis dari semakin majunya pembangunan dan perekonomian Jakarta.
Pengambilan air tanah yang dilakukan secara terus menerus dapat menyebabkan turunnya permukaan tanah (Land Subsidence). Secara umum, variasi laju penurunan tanah Provinsi DKI Jakarta yang terdeteksi adalah sekitar 1-15 cm per tahun. Beberapa faktor penyebab terjadinya penurunan tanah yaitu pengambilan air tanah yang berlebihan, beban bangunan (settlement), penurunan karena adanya konsolidasi (pemadatan) alamiah dari lapisan tanah, serta penurunan karena gaya-gaya tektonik.
Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang Semakin Sedikit
Akibat dari masifnya alih fungsi lahan yang terjadi di Jakarta dan intensitas hujan yang sedang hingga lebat akibat perubahan iklim global ini mengakibatkan munculnya genangan hingga terjadi banjir di Jakarta dan sekitarnya. Limpasan air hujan yang jatuh (Run off) tidak dapat diserap sepenuhnya oleh tanah karena pembangunan yang tak terkontrol tanpa memperhatikan aspek lingkungan ditambah dengan berkurangnya daerah resapan air akibat alih fungsi lahan. Daerah resapan air ini dapat didukung salah satunya oleh Ruang Terbuka Hijau. Fungsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) menurut Permendagri Nomor 1 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan dapat berfungsi secara ekologis, sosial/budaya, arsitektur, dan ekonomi. Secara ekologis, RTH dapat meningkatkan kualitas air tanah, mencegah banjir, mengurangi polusi udara, dan menurunkan temperatur kota. Bentuk-bentuk RTH perkotaan yang berfungsi ekologis antara lain seperti sabuk hijau kota, hutan kota, taman botani, dan sempadan sungai. Terhitung Juni 2019, Koordinator Sains dan Penelitian WRI Indonesia, Dean Yulindra Affandi menyatakan bahwa baru sekitar 14,9 persen Ruang Terbuka di Jakarta merupakan Ruang Terbuka Hijau. Padahal menurut UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang mensyaratkan kota harus memiliki Ruang Terbuka Hijau minimal sebesar 30% dari total Luas Kota terkait secara keseluruhan. Hal ini membuktikan bahwa Jakarta masih memiliki jumlah Ruang Terbuka Hijau yang kurang dan dibutuhkan pembaharuan mengenai tata ruang kota oleh pemerintah berwenang demi kesejahteraan kondisi lingkungan Jakarta itu sendiri.
Kesadaran Lingkungan oleh Masyarakat dan Pemerintah
Hasil riset terbaru yang dilakukan oleh Institut Teknologi Bandung bersama American Red Cross dan Palang Merah Indonesia menunjukkan pemanasan global akan meningkatkan kerentanan iklim di kawasan sepanjang Daerah Aliran Sungai Ciliwung. Berbagai solusi telah diberikan oleh berbagai pemangku kebijakan baik dari pemerintah provinsi ataupun pemerintah pusat seperti normalisasi dan juga naturalisasi sungai dan waduk yang ada di Jakarta. Pada kesempatan sebelumnya di kota Amsterdam, Belanda sudah membuktikan jika bencana alam seperti banjir dapat dihindari. Dengan membangun berbagai bendungan raksasa, membuat kanal kanal yang berguna untuk menghubungkan sungai satu dengan sungai lainnya, membangun polder dan sebagainya dapat diterapkan baik oleh pemerintah provinsi ataupun pemerintah pusat untuk mengurangi terjadinya banjir. Komitmen kuat baik dari Pemerintah DKI Jakarta serta dukungan dari perilaku masyarakat dengan senantiasa menjaga lingkungannya masing masing dengan mengedepankan Environmental Ethics yang sangat penting untuk mengatasi berbagai macam bencana yang akan terjadi seperti banjir tidak hanya di Jakarta tetapi juga untuk semua wilayah di Indonesia. Tentunya dibutuhkan konsistensi perencanaan dan keinginan untuk terus mencari solusi terbaik dengan melibatkan semua pihak. Para ahli dan praktisi diundang untuk mengikuti sayembara guna mencari solusi terbaik.
Faktor lain yang dapat menyebabkan banjir adalah faktor sosiohidraulik. Faktor ini diartikan sebagai kesadaran dan kepahaman sosial tentang masalah yang berkaitan dengan keairan dan konservasinya. Selama masyarakat di kota belum paham keterkaitan antara daerah hulu dan hilir, sampah dan banjir, serta bagaimana dan dengan cara apa seharusnya mereka berbuat, maka pemahaman terhadap faktor ini belum tercapai dengan baik. Kesadaran lingkungan akan timbul apabila setia individu mengetahui sesuatu atau tahu bersikap yang seharusnya, yang didukung oleh informasi berbagai aspek lingkungan. Pada kenyataannya dilihat dari data survei bahwa masyarakat DKI Jakarta yang memiliki kesadaran lingkungan hanya berkisar 50,85 %. Pengetahuan atau informasi yang mereka dapatkan serta sosialisasi yang dilakukan oleh aparat setempat belum sepenuhnya diwujudkan dalam perilaku sehari-hari. Banyak warga yang masih terlihat ragu-ragu untuk mengolah sampah di lingkungan sendiri untuk dijadikan sesuatu yang bermanfaat. Gaya hidup untuk membiasakan membuang sampah pada tempatnya sebanyak 72,5 % warga sudah baik. Namun, masih saja ada sebagian warga yang membuang sampah di saluran sehingga akan membuat saluran tersebut tersumbat. Hal sebagian inilah yang bisa menimbulkan banjir dan tentunya akan berdampak besar bagi banyak orang.
Kesimpulan dan Saran
Banjir di DKI Jakarta sudah berulang kali terjadi. Pemicu utama terjadinya banjir adalah intensitas hujan yang tinggi. Hal tersebut diakibatkan oleh munculnya dua siklon tropis di antara Indonesia dan Australia. Dua siklon tropis itu dinamakan siklon tropis Esther dan Ferdinand. Disamping intensitas hujan yang tinggi, penyebab banjir adalah berkurangnya daerah resapan air. Kondisi ini diperparah dengan letak DKI Jakarta yang merupakan dataran rendah dan terjadinya penurunan muka tanah yang mengalami penurunan antara 0,18 – 2,45 cm/tahun (Ramadhanis dkk, 2017). Kecenderungan masyarakat untuk membuang limbah dan kotoran ke sungai juga telah menjadi kebiasaan sejak dulu kala, jauh sebelum adanya sarana dan prasana sanitasi. Banjir yang terjadi pun tentu saja menghasilkan konsekuensi yang tidak sedikit bagi ibu kota. Dampak negatif terhadap ekonomi, sarana dan infrastruktur dan kesehatan langsung bisa dirasakan masyarakat.
Terjadinya Banjir di DKI Jakarta bukan merupakan kesalahan salah satu pihak saja . Dibutuhkan tekad, perencanaan, dan penerapan yang konsisten dari berbagai pihak untuk menyiasati kondisi alam yang kurang bersahabat, tentunya guna mencari solusi terbaik yang bisa dilakukan. Pemerintah ataupun Pengelola dapat melakukan penyuluhan berkala tentang antisipasi banjir dalam waktu jangka pendek dan jangka panjang sehingga dapat menimbulkan kesadaran lingkungan bagi masyarakat. Selain itu, perlu adanya penerapan regulasi pemberian sanksi bagi warga yang telah membuang sampah sembarangan terlebih di badan sungai, agar memberikan efek jera kepada setiap warganya. Untuk Permasalahan di Daerah Aliran Sungai (DAS), Pemerintah dapat melakukan pengawasan bagi warga yang tinggal di daerah tersebut serta memberikan alternatif pilihan dengan memberikan tempat tinggal yang nyaman sebagai penggantinya. Diharapkan pula program yang telah berjalan dengan baik tetap berjalan terus menerus dan berkesinambungan.
Hal yang bisa dilakukan dilakukan oleh warga DKI Jakarta dan sekitarnya diantaranya melakukan kerjasama antar warga untuk saling merawat dan menjaga lingkungan. Pengetahuan yang dimiliki oleh setiap individu harus diimbangi dalam praktek kehidupan sehari-hari. Selain itu, setiap warga diharapkan berperan aktif dalam mengelola dan melalukan daur ulang sampah sehingga dapat menambah penghasilan bagi warga. Melakukan pemilahan sampah dengan menyediakan tempat sampah yang berbeda antara sampah organik dan anorganik juga harus dilakukan di setiap rumah yang ada di DKI Jakarta.
Daftar Pustaka
Belajar Banjir ke Negeri Belanda. https://tirto.id/belajar-banjir-ke-negeri-belanda-bKNT. Diakses pada 2 Maret 2020 pukul 12.29 WIB.
BMKG. Siklon Tropis. Diakses dari : http://meteo.bmkg.go.id/siklon/learn/06/id. Diakses pada 28 Februari 2020 pukul 17.00 WIB.
BMKG. Dampak Siklon Tropis. Diakses dari http://web.meteo.bmkg.go.id/id/component/content/article/37-siklon-tropis/274-dampak-siklon-tropis. Diakses pada 28 Februari 2020 pukul 17.00 WIB.
Cyclone Ferdinand 2020 LIVE. Zoom Earth, Near Real Time Satellite Images. Diakses pada 29 Februari 2020 pukul 20.06 WIB.
Eni, Sri Pare. 2015. Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Kota Jakarta. Jakarta:Jurnal Arsitektur Volume 3 No. 1. Hal. 321-322.
Himawari Real-Time. https://himawari8.nict.go.jp/. Diakses pada 29 Februari 2020 pukul 20.06 WIB.
Korosec, Marko. 2020. The explosive development of a Severe Tropical Cyclone #Ferdinand northwest of Australia – 85 knots sustained winds (Category 3). Europe: Severe Weather Europe.
BMKG. Curah Hujan 2020 tertinggi sejak 154 tahun lalu. https://news.detik.com/berita/d-4843572/data-bmkg-curah-hujan-2020-tertinggi-sejak-154-tahun-lalu. Diakses pada 4 Maret 2020 pukul 20.20 WIB.