Disusun oleh : Myranda Zahrah Putri– Pemenang 1 Lomba Menulis Artikel Peringatan Hari Ozon yang diselenggarakan oleh “Environmental Race” Departemen Lingkungan Hidup BEM UI 2017
Berbicara tentang climate change, tentunya kita masih ingat dengan Amerika Serikat yang menyatakan keluar dari Paris Agreement pada bulan Juni 2017 lalu. Paris Agreement merupakan kerangka persetujuan dari United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC)—sebuah komitmen politik internasional yang diinisiasi PBB pada tahun 1992 tentang perubahan iklim—untuk membahas upaya pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) yang dinilai sangat berpengaruh secara signifikan dalam menaikkan suhu udara tiap tahunnya.
Isu perubahan iklim atau climate change memang telah disorot oleh berbagai negara di seluruh dunia sebagai isu internasional yang bersifat mendesak dan butuh penanganan yang tepat dan efektif dengan segera. Penyebabnya jelas : dampak kerugian yang ditimbulkan dari perubahan iklim itu sangat mempengaruhi pembangunan dan keselamatan negara. Tarik contoh badai Harvey di Texas yang terjadi pada bulan Agustus 2017 lalu. Disusul dengan badai Irma di Florida dan badai Maria di Puerto Rico. Badai-badai yang terjadi dalam waktu berdekatan tersebut merupakan salah satu bukti nyata dari climate change : siklus hidrologi yang berubah mengakibatkan pola angin dan jejak badai juga berubah (UNFCCC, 2007).
Ada banyak dampak yang ditimbulkan dari perubahan iklim, namun yang paling menonjol dan menjadi faktor utama timbulnya dampak-dampak yang lain adalah kenaikan suhu udara. Tingkat pemanasan rata-rata selama 50 tahun terakhir hampir dua kali lipat dari rata-rata suhu pada 100 tahun terakhir. Suhu rata-rata global naik sebesar 0.74ºC pada abad ke-20, dan diprediksikan akan terus meningkat jika kadar emisi gas rumah kaca juga semakin meningkat. Kenaikan suhu ini dapat menyebabkan kekacauan pada sistem alami bumi. Sekitar 20-30% spesies flora dan fauna akan mengalami kepunahan jika bumi mengalami kenaikan suhu sebesar 1.5-2.5ºC. Kepunahan flora dan fauna tersebut akan berdampak pada ketersediaan pangan dan air bagi manusia. Perubahan iklim juga meningkatkan resiko kesehatan karena pola distribusi vektor penyakit menular seperti nyamuk malaria ataupun resiko penyakit-penyakit yang ditimbulkan akibat suhu panas (heat stroke dan heat waves) (UNFCCC, 2007).
Dampak lain yang timbul akibat kenaikan suhu udara karena perubahan iklim dan pemanasan global adalah mencairnya salju di Kutub Utara dan Kutub Selatan sehingga mengakibatkan permukaan laut naik. Saat ini, rata-rata suhu di Benua Arktik telah mengalami kenaikan sebesar dua kali lipat dari kenaikan suhu rata-rata pada 100 tahun terakhir. Luasan lautan es di Arktik telah berkurang sebanyak 2.78% menurut pengamatan satelit NASA sejak tahun 1978. Selama abad 20, permukaan laut telah naik sebanyak 17 cm. Pada daerah-daerah dengan iklim sedang, gletser mulai mencair dan daerah yang tertutup salju semakin berkurang. Tinggi permukaan laut rata-rata secara global diproyeksikan naik sebesar 28-58 cm akibat perluasan lautan dan pencairan gletser hingga akhir abad ke-21. Suhu yang tinggi juga mengakibatkan presipitasi yang tidak merata di tiap wilayah, sehingga ketersebaran air pun tidak merata. Kenaikan presipitasi terjadi di beberapa wilayah di Amerika dan penurunan presipitasi sebagian besar terjadi di Afrika dan Asia Selatan.
Hal yang sangat dominan berperan dalam meningkatkan suhu bumi hingga menimbulkan pemanasan global dan perubahan iklim adalah emisi gas rumah kaca (GRK). Gas rumah kaca yang paling mudah ditemukan dalam kehidupan sehari-hari yaitu karbondioksida (CO2) yang merupakan gas sisa hasil pembakaran sempurna dan gas CFC (Chlorofluorocarbon) yang sering dimanfaatkan untuk pendinginan suhu udara. Jika konsentrasi CO2 mencapai 550 ppm maka suhu udara akan naik sebesar 2-4.5ºC, kenaikan serupa terjadi jika zat GRK lain diberikan dengan konsentrasi sekitar 650 ppm.
Gas CFC merupakan gas yang dapat bergesekan dengan lapisan ozon sehingga dapat menyebabkan kerusakan dan penipisan pada laposan ozon. Penipisan kapisan ozon inilah yang nantinya akan membuat bumi menjadi tidak terlindungi dari radiasi sinar UV sehingga suhu bumi akan naik dan manusia yang terpapar sinar UV beresiko tinggi terkena kanker kulit. Di era globalisasi dengan perkembangan kemajuan teknologi yang pesat ini, gas CFC pada umumnya dimanfaatkan untuk pendingin ruangan (AC), kulkas, dry clean, spray, maupun pada industri elektronik lainnya. Pemakaian gas CFC yang berlebihan dapat menyebabkan penipisan lapisan ozon yang signifikan. Isu penggunaan gas CFC ini telah disorot oleh berbagai negara sejak dulu, yaitu pada Protokol Montreal (1987) dan Vienna Convention (1988) yang menetapkan pengurangan produksi gas CFC secara bertahap. Hasilnya terjadi pengurangan produksi CFC sebesar 20% pada tahun 1993 dan meningkat menjadi 50% pada tahun 1998. Menurut Protokol Montreal, pembatasan dikenakan pada beberapa mesin pendingin yang menggunakan CFC 11, CFC 12, CFC 113, CFC 114, dan CFC 115. Di antara semua tipe gas CFC tersebut, gas CFC 11 merupakan gas yang memiliki daya kerusakan terbesar.
Indonesia merupakan negara yang beriklim tropis, dimana penggunaan perangkat teknologi pendingin tidak jarang lagi ditemukan. Lalu, adakah upaya yang dapat kita lakukan untuk mengurangi penggunaan CFC pada alat-alat teknologi pendingin yang kita gunakan sebagai langkah sederhana menanggulangi permasalahan perubahan iklim? Dari sudut pandang industri, para perusahaan elektronik pendingin berlomba-lomba melakukan penelitian tentang gas pengganti CFC yang lebih ramah lingkungan atau menciptakan perangkat piranti yang bisa menggantikan fungsi gas CFC. Sejauh ini, Universitas Gadjah Mada pada tahun 2015 pernah mengembangkan suatu perangkat piranti termoakustik yang berpotensi menghasilkan pendingin yang ramah lingkungan.
Sementara dari sudut pandang masyarakat sebagai pengguna teknologi dalam kehidupan sehari-hari, pada hal ini adalah kita sebagai mahasiswa, tentunya penting untuk mengetahui bagaimana langkah-langkah bijak yang dapat kita lakukan dalam memanfaatkan teknologi tersebut agar kita dapat berkontribusi mengurangi beban global warming yang ditimbulkan akibat penggunaan teknologi secara tidak bijak. Seperti pada penggunaan teknologi pendingin, ada beberapa langkah cerdas yang dapat kita lakukan untuk membantu mengurangi emisi gas CFC, yaitu dengan mematikan AC jika suhu udara saat itu sedang tidak panas; mengatur suhu AC agar sesuai dengan suhu ruangan yang seharusnya (pengaturan suhu yang aman berkisar antara 22-25ºC karena kisaran suhu tersebut tidak membutuhkan daya listrik yang lebih besar); gunakan ukuran AC yang sesuai dengan luas ruangannya; menutup pintu dan jendela selama AC menyala serta menggunakan timer untuk mengatur lama waktu pemakaian AC. Selain itu, jangan lupa melakukan perawatan rutin AC dengan pembersihan saringan udara secara teratur dan servis berkala komponen setiap 3 atau 4 bulan sekali (hal ini bisa kamu lakukan dengan memanggil petugas jasa service perawatan AC). Jangan pernah sesekali menyetel suhu AC terlalu rendah atau terlalu panas. Suhu yang terlalu rendah dapat meningkatkan daya penggunaan listrik yang lebih besar sedangkan suhu yang terlalu panas dapat merusak freon AC.
Jadi, tentunya masih ada langkah sederhana yang dapat kita lakukan sebagai upaya awal dalam mengurangi emisi gas rumah kaca dengan cara bijak menggunakan AC di kehidupan sehari-hari. Penggunaan AC dan perangkat teknologi lainnya jika sesuai dengan kebutuhan dan strategi pemakaian yang bijak diyakini tidak akan memperparah dampak kerusakan iklim yang ditimbulkan. Ada pepatah yang mengatakan, “hiduplah dengan menguasai teknologi, jangan biarkan teknologi yang menguasai kita”. Memanfaatkan teknologi secara bijak dan cerdas dapat membawa kita pada kebermanfaatan yang lebih besar, ketimbang membiarkan kita mengeksploitasi teknologi secara berlebihan.
Great article! Your article helped me a lot. Thanks! What do you think? I want to share your article to my website: gate 交易所