Oleh: Departemen Lingkungan Hidup BEM UI 2020 dan Departemen Lingkungan Hidup BEM Kema Unpad 2020

Saat ini, suhu bumi kian meningkat, dengan peningkatan yang melambung tinggi setiap tahunnya. Hal tersebut terjadi karena perubahan iklim global yang disebabkan oleh semakin tingginya konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) yang berada di atmosfer bumi. Peningkatan suhu ini menyebabkan terjadinya perubahan iklim yang menimbulkan permasalahan ekosistem, ketersediaan pangan, ketersediaan air, serta kesehatan yang akan mengancam kelangsungan hidup manusia. Atas kegawatan dari berbagai permasalahan yang disebabkan oleh perubahan iklim, lahirlah Paris Agreement (Persetujuan Paris). Persetujuan Paris merupakan persetujuan pertama di dunia yang dapat menyatukan negara-negara untuk bahu-membahu melawan perubahan iklim secara ambisius (UNFCCC, 2018). Setiap negara yang menyetujui Persetujuan Paris kemudian menjabarkan rencana dan target masing-masing dalam 5 tahun ke depan yang dituangkan dalam Nationally Determined Contributions (NDC).

Indonesia, sebagai negara yang menyetujui Persetujuan Paris, telah melakukan ratifikasi melalui UU No. 16 Tahun 2016. Indonesia kemudian menyusun NDC pertamanya yang berisi target untuk mengurangi emisi sebesar 26% dengan usaha sendiri pada tahun 2020. Namun, jika mendapatkan dukungan dari negara-negara lain terutama negara maju, Indonesia menyanggupi terjadinya pengurangan emisi hingga mencapai 41%. Target ini dicapai melalui kebijakan dan usaha yang terutama berfokus pada sektor energi, limbah, industrial process and product use (IPPU), serta agriculture, forestry, and other land use (AFOLU).

Sebagai negara penghasil emisi terbesar ke-4 di dunia pada tahun 2015, tentu usaha dan ambisi Indonesia patut diapresiasi. Namun, ketika melihat pelaksanaan rencana tersebut dengan lebih seksama, terlihat beberapa permasalahan. Merujuk pada data anomali suhu yang dirilis oleh BMKG, tidak terlihat adanya perbedaan pada peningkatan suhu Indonesia antara sebelum dengan sesudah ditetapkannya NDC pertama. Selain itu, Climate Action Tracker, kelompok peneliti independen yang mengamati aksi perubahan iklim, menyatakan bahwa target yang ditetapkan Indonesia sebenarnya masih tergolong sangat tidak cukup (highly insufficient). Hal ini menjadi landasan yang kuat untuk melakukan pengkajian yang mendalam terhadap NDC Indonesia.

Persetujuan Paris dan Nationally Determined Contributions (NDC)

Persetujuan Paris lahir pada 12 Desember 2015 di kompleks Le Bourget, Paris. Persetujuan ini ditandatangani 175 pihak, terdiri atas 174 negara serta Uni Eropa, pada tanggal 22 April 2016 yang bertepatan dengan Hari Bumi dan mulai berlaku efektif pada tanggal 4 November 2016. Persetujuan Paris memiliki 29 articles (pasal) yang di dalamnya mengatur tujuan, garis besar langkah-langkah, serta bentuk kerja sama yang akan diambil seluruh pihak.

Pada article 2 tertuang tujuan utama dari Persetujuan Paris, yaitu memperkuat respon global terhadap bahaya perubahan iklim dalam konteks pembangunan berkelanjutan dan usaha untuk menghilangkan kemiskinan. Hal ini dicapai melalui pembatasan peningkatan suhu bumi menjadi di bawah 2℃ dan berusaha mencapai 1,5℃ dibandingkan masa pra-industrialisasi. Batas peningkatan suhu bumi sebesar 1,5℃ adalah batas di mana kerusakan lingkungan yang terjadi masih dapat ditoleransi oleh manusia (dengan catatan dilakukannya usaha adaptasi yang optimal terhadap dampak perubahan iklim tersebut).

Selanjutnya, article 3 Persetujuan Paris mengharuskan pihak yang menyepakati untuk melakukan dan melaporkan kepada khalayak global usaha-usaha ambisius dan progresif untuk mencapai tujuan yang dituliskan pada article 2 dalam bentuk Nationally Determined Contribution (NDC). Di dalam NDC, suatu negara menyatakan target pengurangan emisi, upaya mitigasi dan adaptasi, serta bentuk-bentuk bantuan yang dibutuhkan maupun diberikan secara transnasional. Target pengurangan emisi dinyatakan sebagai persentase volume emisi yang ditargetkan akan berkurang terhadap proyeksi volume emisi jika tidak dilakukan usaha pengurangan (dikenal sebagai skenario business as usual atau BaU). Setiap negara mengajukan 2 target: target yang dicapai tanpa bantuan pihak lain (target non-kondisional) dan target yang dicapai jika pihak lain membantu negara tersebut dalam memenuhi kebutuhan yang tercantum dalam NDC-nya (target kondisional).

Meskipun terlihat sangat brilian, bukan berarti NDC tidak memiliki kelemahan. Dalam Persetujuan Paris, tidak disebutkan secara spesifik batas minimal target untuk setiap NDC. Setiap negara memiliki kebebasan dalam penyusunan NDC sesuai dengan kapabilitas dan pertimbangannya masing-masing, meskipun target tersebut sesungguhnya belum cukup untuk menjaga kenaikan suhu bumi di bawah 2℃, terlebih 1,5℃.

Implementasi dan Implikasi NDC Pertama Indonesia

Dalam NDC untuk periode pertama yang dipublikasikan, Indonesia menjabarkan rencana pengurangan emisi gas rumah kaca sebagai berikut:

Tabel 1. Proyeksi emisi dalam skenario BaU (Business as Usual) dan pengurangan emisi gas rumah kaca Indonesia per sektor
Sumber: KLHK

Jika diperhatikan, terlihat adanya suatu kejanggalan. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, Indonesia berjanji akan mengurangi emisi sebesar 29% secara non-kondisional (CM1), dan menargetkan hingga 41% secara kondisional (CM2). Namun, berdasarkan proyeksi yang disajikan dalam satu dokumen NDC yang sama, total pengurangan emisi pada CM2 hanya sebesar 38%. Meskipun secara teknis 38% masih tercakup di rentang “hingga 41%”, mengapa Indonesia tidak menyampaikan target 38% saja? Meskipun secara persentase perbedaan 3% terlihat kecil, dalam satuan emisi, ini berarti perbedaan hampir 100 MTon CO2e. Diskrepansi data di atas menimbulkan tanda tanya atas keseriusan Indonesia dalam penyusunan NDC pertamanya.

Selain itu, terjadi kesenjangan dalam persentase penurunan emisi antar sektor. Rencana Indonesia hanya terfokus pada penurunan emisi di sektor energi dan kehutanan. Rencana pengurangan emisi di sektor pertanian, limbah, dan IPPU hampir tidak terlihat. Ditambah lagi, jika melihat pada sektor pertanian, terjadi penurunan rencana pengurangan emisi pada skenario kondisional dengan non-kondisional.

Hal-hal janggal yang ditemukan di proyeksi tersebut sayangnya tidak menjadi akhir dari pertanyaan terhadap keseriusan pemerintah. Berdasarkan riset Climate Action Tracker, jika NDC Indonesia tidak berubah, target Indonesia pada tahun 2030 diproyeksikan akan masuk dalam kategori highly insufficient. Kemudian, jika diasumsikan Indonesia tidak melakukan pembenahan maupun penekanan emisi sesegera mungkin, proyeksi emisi menunjukkan sebuah kemungkinan bagi target Indonesia di tahun 2050 memasuki kategori critically insufficient. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia masih kurang ambisius dalam penetapan targetnya di setiap sektor.

Dengan kategori highly insufficient yang diperoleh NDC Indonesia dan proyeksi untuk masa yang akan datang, berdasarkan analisis yang dilakukan dan dampaknya terhadap kenaikan suhu global, dapat disimpulkan bahwa NDC pertama yang disusun Indonesia belum sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati dalam Persetujuan Paris.

Analisis NDC Indonesia Sektor AFOLU

Dalam penyusunan NDC pertamanya, Indonesia menjanjikan penurunan emisi gas karbon terbesar pada sektor kehutanan, yakni sebesar 17% dari total 29% pada CM1. Hal tersebut tidaklah mengherankan karena setiap tahun selalu ada kasus kebakaran hutan dengan luas lebih dari ratusan hektar dengan lebih dari ribuan titik api. Namun, bagaimana dengan alih fungsi lahan menjadi perkebunan sawit? Untuk mengatasi hal tersebut Indonesia telah merilis moratorium sawit melalui Instruksi Presiden (Inpres) No. 8 Tahun 2018. Namun, menurut temuan beberapa organisasi masyarakat sipil, izin pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit masih dikeluarkan meskipun Inpres tersebut telah berlaku. Dua belas poin dalam Inpres ini belum terlaksana dengan baik; masih terdapat kecacatan di beberapa pihak dalam pelaksanaannya.

Mengenai pengurangan emisi GRK di bidang pertanian, cara mencapai target 9 Mton CO2e masih perlu dipertanyakan. Jika melihat daftar peraturan perundang-undangan sejak penetapan NDC hingga saat ini, hanya ada 1 undang-undang yang mengatur pertanian, yaitu UU Nomor 22 Tahun 2019. Namun, regulasi ini sulit melahirkan kebijakan yang berarti dalam upaya mewujudkan target NDC di sektor pertanian karena tidak secara langsung merujuk pada pembatasan emisi.

Berdasarkan hal-hal tersebut, perlu dilakukan mitigasi secara lebih serius dalam sektor AFOLU, mengingat belum berhasilnya Indonesia mencapai angka yang dijanjikan. Hal yang perlu dilakukan adalah melakukan pengelolaan hutan yang berbasis pada masyarakat (Community-based forest management), dimana masyarakat menjadi pelaku utama mengingat selama ini yang terjadi adalah state-based forest management. Selanjutnya, pengelolaan hutan seharusnya sudah tidak lagi bersifat elitis, melainkan demokratis. Hal ini berarti setiap stakeholder, termasuk masyarakat, berhak memperoleh akses atas informasi hutan dan kehutanan secara terbuka. Selain itu, Indonesia perlu memenuhi target dari restorasi gambut yang dijanjikan, di samping penekanan dan pencegahan kebakaran hutan maupun lahan yang tidak kalah penting. Diperlukan pula regulasi yang secara langsung mendukung NDC di bidang pertanian. Setiap langkah yang diambil pemerintah di sektor AFOLU memiliki dampak besar pada emisi dan pencapaian target.

Analisis NDC Indonesia Sektor IPPU

Dengan memperhatikan Tabel 1. yang menyajikan Proyeksi BaU dan pengurangan emisi gas rumah kaca Indonesia per sektor, penurunan emisi dari sektor IPPU memiliki target paling rendah dari keempat sektor lainnya; hanya sebesar 0,10%. Angka ini tergolong rendah jika dibandingkan dengan proses produksi dan pertumbuhan dari sektor ini cukup besar dan cepat sehingga dapat memberikan emisi yang besar jika tidak ditangani segera. Padahal, sektor industri menyumbang angka yang cukup besar yakni 31% emisi CO2 dari total emisi CO2 Nasional (KLHK, 2017). Sumber-sumber emisi utama adalah dilepaskannya gas rumah kaca (GRK) dari proses-proses industri yang secara kimiawi atau fisik melakukan transformasi suatu bahan/material menjadi bahan lain. Selain itu, GRK juga digunakan sebagai bahan baku di dalam produk-produk seperti pada pendingin, busa, atau kaleng aerosol.

Poin selanjutnya yang dapat dipertimbangkan dari sektor industri adalah pengunaan energi. Di sektor industri, gas bumi dan batu bara masih menjadi sumber energi utama. Di sisi lain, penggunaan EBT di sektor industri baru dimanfaatkan untuk industri makanan dan kertas. Energi terbarukan seperti cangkang kelapa sawit, jerami padi, biogas dan black liquor digunakan sebagai pengganti batu bara. Dari kondisi di atas, nampaknya kebijakan sektoral Indonesia akan sulit untuk dapat konsisten dengan target Persetujuan Paris, terutama berkaitan dengan penggunaan efisiensi energi di bidang industri.

Penurunan emisi GRK sektor IPPU secara umum didasarkan kepada Pasal 77 – 83 UU Nomor 3 Tahun 2014 Tentang Perindustrian yang kemudian sebagai dasar hukum Industri Hijau, yakni industri yang dalam proses produksinya mengutamakan upaya efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya secara berkelanjutan sehingga mampu menyelaraskan pembangunan industri dengan kelestarian fungsi lingkungan hidup serta dapat memberi manfaat bagi masyarakat. Namun, progres yang sudah dilakukan masih hanya berupa pedoman standar pelaksanaan dan pelaporan sebagai bentuk monitoring di beberapa aktivitas industri, belum sampai pada penetapan standar industri hijau juga sertifikasi bagi pelaku industri hijau di Indonesia. Oleh sebab itu, Indonesia memerlukan suatu kebijakan dan inovasi yang progresif mendukung terwujudnya industri hijau.

Perbandingan NDC Pertama Indonesia dengan Negara-Negara Lain

Salah satu negara yang menduduki kategori 1,5℃ Paris Agreement Compatible dalam penilaian Climate Action Tracker adalah Maroko. Target jangka menengah dan jangka panjangnya telah disusun dengan jelas, yaitu pengurangan konsumsi energi dalam bangunan, industri, dan transportasi sebesar 12% pada tahun 2020 dan meningkat menjadi 15% pada tahun 2030 jika dibandingkan dengan sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa NDC Indonesia, yang saat ini hanya berfokus pada sektor kehutanan, sangat bertolak belakang dengan NDC Maroko, yang berfokus pada hampir semua sektor. Target pembangunan instalasi Energi Baru Terbarukan (EBT) yang ditetapkan Maroko juga berada jauh di atas Indonesia yaitu 42% pada tahun 2020 dan 52% pada tahun 2030, sedangkan Indonesia hanya menargetkan 23% EBT pada tahun 2025. Implementasi yang dilakukan oleh Maroko untuk mewujudkan targetnya juga sangat serius, terlihat oleh pencapaian pada tahun 2018 yang sudah memasok 34% energinya dari sektor EBT, padahal tingkat implementasi EBT di Indonesia baru mencapai 12%.

Selanjutnya, salah satu negara yang menduduki kategori compatible adalah India. Jika dibandingkan dengan target-target yang disusun oleh India, Indonesia masih sangat tertinggal. Dalam sektor pengembangan EBT, India menargetkan 40% perolehan energi dari pembangkit listrik yang tidak menggunakan bahan bakar fosil pada tahun 2030 dan realisasinya terbukti dengan terdepannya India dalam inovasi di bidang EBT. Sementara itu, Indonesia hanya memasang target 23% perolehan energi dari sektor EBT tanpa penetapan strategi khusus untuk mencapai target tersebut dan realisasi yang masih sangat minim akibat manajemen keuangan yang masih berfokus pada bahan bakar fosil.

Urgensi Kolaborasi Trans-Sektor Dalam Penetapan dan Pelaksanaan NDC Indonesia

Dari pembahasan yang sudah dilakukan, terlihat bagaimana pengurangan emisi perlu dilakukan secara multisektor. Kebijakan pengurangan emisi tidak bisa hanya difokuskan pada satu sektor karena pertumbuhan di sektor lain yang cepat dapat menutup usaha pengurangan tersebut. Pemerintah Indonesia masih terlalu terfokus di sektor kehutanan sehingga usaha pengurangan di sektor lain. Sektor energi yang padahal menjadi target fokus kedua juga tidak mengalami perkembangan yang patut dibanggakan akibat kurangnya arus perekonomian menuju EBT. Oleh sebab itu, penting bagi pemerintah Indonesia untuk melihat penyusunan dan pelaksanaan NDC sebagai suatu hal yang bersifat multidisiplin. NDC Indonesia bukanlah program Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) saja, melainkan menyangkut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian, hingga Bappenas, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian untuk memastikan aliran keuangan yang menguntungkan bagi pencapaian NDC. Tanpa kolaborasi dari hampir seluruh sektor pemerintahan, impian membatasi peningkatan suhu bumi di bawah 1,5℃ hanya menjadi impian belaka.

Kesimpulan

Kondisi bumi sedang tidak baik-baik saja, bahkan diperkirakan akan memburuk di masa yang akan datang. Karena itu, dibutuhkan aksi mitigasi dan adaptasi yang mumpuni dari seluruh pihak seperti yang sudah disepakati dalam Persetujuan Paris. Sayangnya, berdasarkan pengkajian yang kami lakukan, NDC yang disusun Indonesia tidaklah ambisius, minim usaha, dan implementasinya masih dipenuhi oleh tanda tanya. Kedua sektor yang masing-masing menjadi fokus terbesar dan terkecil, AFOLU dan IPPU, sama-sama mendapat dukungan yang minim, serta terkesan ditutupi oleh pemerintah melalui aturan-aturan yang sebenarnya belum tepat sasaran. Sektor AFOLU memang telah menjadi fokus utama pemerintah, namun langkah yang diambil tetap masih kurang optimal dan cenderung tidak ada transparansi. Sementara itu, sektor IPPU masih dikesampingkan oleh pemerintah dan dibiarkan tanpa regulasi yang jelas, padahal sektor industri merupakan penyumbang Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) terbesar kedua di Indonesia. Berdasarkan analisis tersebut, dapat disimpulkan bahwa pemerataan target pengurangan emisi di Indonesia masih kurang dilaksanakan dengan kolaborasi trans-sektor.

Maroko dan India menjadi bukti bagi Indonesia bahwa menyusun NDC yang ambisius dan lebih mendukung Persetujuan Paris bukanlah suatu hal yang tidak mungkin. Meskipun NDC mereka juga memiliki kekurangan masing-masing, secara umum, target kedua negara ini lebih mendukung tercapainya Persetujuan Paris dibandingkan Indonesia. Indonesia memerlukan ambisi, fokus, dan dukungan yang lebih dari seluruh sisi: pemerintah, korporasi, dan masyarakat dalam menyusun dan mengimplementasi kebijakan demi tercapainya NDC yang sejalan dengan Persetujuan Paris.

Daftar Pustaka

Bappenas. 2019. Rancangan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024. [fusion_builder_container hundred_percent=”yes” overflow=”visible”][fusion_builder_row][fusion_builder_column type=”1_1″ background_position=”left top” background_color=”” border_size=”” border_color=”” border_style=”solid” spacing=”yes” background_image=”” background_repeat=”no-repeat” padding=”” margin_top=”0px” margin_bottom=”0px” class=”” id=”” animation_type=”” animation_speed=”0.3″ animation_direction=”left” hide_on_mobile=”no” center_content=”no” min_height=”none”][daring]. Tersedia di [Diakses 19 April 2020]
Barri, MF, Setiawan, AA, Oktaviani, AR, Prayoga, AP, Ichsan, AC. 2018. Deforestasi Tanpa Henti: Potret Deforestasi di Sumatera Utara, Kalimantan Timur, dan Maluku Utara. Jakarta: Forest Watch Indonesia.
Climate Action Tracker. 2019. Indonesia. [daring]. Tersedia di [Diakses 6 April 2020].
Dewan Energi Nasional. 2019. Outlook Energi Indonesia. [daring]. Tersedia di [Diakses 19 April 2020].
IPCC. 2018. Global Warming of 1.5°C. An IPCC Special Report on the impacts of global warming of 1.5°C above pre-industrial levels and related global greenhouse gas emission pathways, in the context of strengthening the global response to the threat of climate change, sustainable development, and efforts to eradicate poverty.
Kaoem Telapak. 2019. Shadow Report : Kemana Arah Implementasi Inpres No. 8 Tahun 2018 (Moratorium Sawit) Berjalan?. [daring] Tersedia di [Diakses 18 April 2020]
KLHK. 2017. Summary : National Determined Contribution (NDC) dan Progres. Jakarta : Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim.
NASA, 2019. Global Temperature. [daring] Tersedia di [Diakses 18 April 2020].[/fusion_builder_column][/fusion_builder_row][/fusion_builder_container]