Oleh: Departemen Lingkungan Hidup BEM UI 2021

Akhir-akhir ini gerakan yang mengangkat isu krisis iklim makin marak. Peristiwa ini
merupakan hal yang sangat baik mengingat kondisi Bumi yang kian memburuk tiap harinya. Krisis
iklim sendiri dipicu oleh beragam hal, seperti deforestasi, penggunaan energi tak terbarukan,
hingga penangkapan berlebihan terhadap ikan di laut. Mungkin kita telah mengetahui beragam
dampak yang ditimbulkan dari krisis iklim ini, sebagai contoh mulai dari cuaca yang kini sudah
tidak menentu ditunjukkan dengan anjloknya pendapatan nelayan di Indonesia hingga 90%
(Mongabay, 2017) hingga mencairnya 3 triliun ton es di Antarktika sejak awal tahun 1990-an yang
menyebabkan ketinggian permukaan air laut meningkat (Stone, 2021). Kabar terbaru, kini hutan
hujan Amazon menghasilkan karbon dioksida sebanyak 1,5 miliar ton, jumlah ini lebih banyak
daripada yang diserap oleh hutan hujan Amazon, yaitu sebanyak 0,5 miliar ton. Hal ini berarti
masih tersisa 1 miliar ton karbon dioksida di atmosfer (Carrington, 2021). Hutan hujan, seperti
Amazon, semestinya menjadi penyerap gas rumah kaca yang menyebabkan krisis iklim, tetapi kini
yang terjadi malah sebaliknya.

Dengan fakta-fakta lapangan yang telah terhampar dengan jelas,
pertanyaannya adalah: Apakah semua orang terketuk hatinya dan mulai bertindak untuk
menyelamatkan Bumi yang mulai rapuh?
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh YouGov-Cambridge Globalism Project terhadap
23 negara, tercatat bahwa Indonesia (18%) menjadi negara tertinggi dengan persentase orang yang
tidak memercayai bahwa krisis iklim disebabkan oleh aktivitas manusia. Kemudian urutan
persentase tersebut diikuti oleh Arab Saudi (16%) dan Amerika Serikat (13%) sebagai pemuncak
dari survei yang dilakukan oleh YouGov-Cambridge Globalism Project. Hasil dari survei ini
merupakan kabar buruk bagi keberlangsungan ekosistem di Bumi, lantas apakah yang
menyebabkan orang tidak percaya bahwa krisis iklim disebabkan oleh aktivitas manusia?

Paradigma Para Penyangkal

Pada tahun 2009, Janet Swim, seorang profesor psikologi di Pennsylvania State University,
bertanya kepada seorang supir taksi ketika ia sedang berada di Cape Town, Afrika Selatan. Janet
Swim bertanya kepada supir tersebut mengenai perubahan iklim. Supir tersebut mengatakan
bahwa perubahan iklim tidaklah nyata, ia menegaskan argumennya dengan pernyataan bahwa
apabila iklim memang berubah serta ketinggian permukaan air laut meningkat maka seharusnya
hal itu sudah terlihat. Menurut Swim, percakapannnya dengan supir taksi tersebut merupakan
gambaran mengenai cara berpikir kita sehari-hari; serta cuaca yang dialami oleh seseorang dalam
kehidupan sehari-harinya menjadi tolok ukur bagaimana seseorang melihat makna perubahan
iklim. Kesimpulan dari percakapan singkat antara Janet Swim dengan supir taksi tadi juga telah
dikonfirmasi oleh penelitian yang dilakukan oleh Donner dan McDaniels pada tahun 2013.

Penelitian itu menyatakan bahwa hasil dari jajak pendapat akan “mempercayai” atau
“mengkhawatirkan” perubahan iklim sangat dipengaruhi oleh variasi suhu selama 3—12 bulan
Sterakhir. Dengan kata lain, apabila cuaca menjadi panas yang tidak seperti biasanya maka orangorang akan mengkhawatirkan perubahan iklim, sedangkan apabila cuaca menjadi dingin maka
angka kekhawatiran itu menyusut. Hal lain yang makin membuat seseorang menyangkal krisis
iklim adalah rasa tidak berdaya yang timbul karena meskipun kita menghentikan emisi gas rumah
kaca sekarang juga, masih ada efek tertunda dari gas rumah kaca yang akan tetap memberi masalah
pada masa yang akan datang (Rood, 2017).

Taksonomi Penyangkalan

Para penyangkal krisis iklim hadir dalam beragam bentuk, mulai dari industri bahan bakar
fosil, politikus, petinggi media, hingga independen yang meragukan kebenaran dari isu krisis
iklim. Berdasarkan perkiraan terbaru dari InfluenceMap pada tahun 2019, lima perusahaan negeri
gas dan minyak terbesar di dunia (BP, Shell, Exxon Mobil, Chevron, dan Total) mengucurkan
dana sekitar US$ 200 juta per tahunnya untuk melobi kontrol, penundaan, atau melakukan block
binding atas kebijakan iklim.

Mark Maslin, Profesor Ilmu Kebumian University College London, menyebutkan dalam
artikelnya yang berjudul “The Five Corrupt Pillars of Climate Change Denial” bahwa para
penyangkal krisis iklim memiliki lima cara untuk meyakinkan orang lain bahwa krisis iklim itu
tidak nyata. Untuk berita selengkapnya dapat diakses melalui tautan berikut ini:
bem.ui.ac.id/PenyangkalKrisisIklim

Daftar pustaka:

Ambari, M. (2017). Di mana Peran Negara Saat Cuaca Buruk Terjadi dan Nelayan Tak Bisa Melaut?. https://www.mongabay.co.id/2017/02/14/dimana-peran-negara-saat-cuaca-buruk-terjadi-dan-nelayan-tak-bisa-melaut/.

Carrington, D. (2021). Amazon rainforest now emitting more CO2 than it absorbs. https://www.theguardian.com/environment/2021/jul/14/amazon-rainforest-now-emitting-more-co2-than-it-absorbs.

Donner, S. D., & McDaniels, J. (2013). The influence of national temperature fluctuations on opinions about climate change in the U.S. since 1990. Climatic Change, 537–550.

Maslin, M. (2019). The five corrupt pillars of climate change denial.  https://theconversation.com/the-five-corrupt-pillars-of-climate-change-denial-122893.

Rood, R. B. (2017). If we stopped emitting greenhouse gases right now, would we stop climate change?. https://theconversation.com/if-we-stopped-emitting-greenhouse-gases-right-now-would-we-stop-climate-change-78882.

Stoknes, P. E. (2015). What We Think About When We Try Not To Think About Global Warming. Vermont: Chelsea Green Publishing.

Tollefson, J. (2019). The hard truths of climate change. https://www.nature.com/immersive/d41586-019-02711-4/index.html.